“Kami sudah terbiasa mendapat dan
menangani kasus MDR-TB di RS Persahabatan karena fungsi rumah sakit ini
sebagai pusat rujukan nasional untuk penyakit respirasi” ujar Dr. Elisna
Syahruddin PhD, SpP(K), di ruang praktek RS Persahabatan Jakarta Timur
ketika ditanyakan tentang kasus tuberkulosis .
Kata-kata awal Elisna bukanlah ucapan
yang menganggap enteng Multi Drugs Resistence Tuberculosis ( MDR TB).
Cerita selanjutnya yang mengalir dari Koordinator Riset Departemen
Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI-RS Persahabatan ini
adalah mengenai kekhawatiran dia tentang penyakit ini. Meski Indonesia
telah sukses menurunkan peringkat insiden tuberkulosis dari urutan
ketiga menjadi kelima di dunia, kasus MDR menjadi bahaya ‘baru’ yang
mengancam dan tidak boleh lengah diwaspadai.
Ada sejumlah alasan mengapa para dokter
spesialis paru seperti Elisna, cemas dengan MDR-TB ini. Pertama, terapi
MDR TB membutuhkan waktu terapi yang lebih lama, sekitar 18 bulan.
Padahal, pasien Indonesia untuk pengobatan TB biasa (tampa penyulit
lain) yang ‘hanya’ membutuhkan waktu 6 bulan, masih banyak memiliki
faktor yang me njadi hambatan untuk suksesnya terapi. Mulai faktor
ekonomi, hingga keengganan berobat akibat kurangnya pengetahuan
masyarakat tentang bahaya TB paru.
Waktu yang lebih panjang tentu membutuhkan upaya yang lebih keras agar
pengobatan berhasil. Jika pada TB yang kebanyakan masih sensitive untuk
semua obat antituberkulosis (OAT) linipertama tingkat kesembuhan bisa
di atas 95 persen, maka pada MDR-TB tingkat kesembuhan sulit mencapai
50 persen. Alasan kedua, pengobatan MDR-TB juga harus menggunakan OAT
lini-kedua dan sebagian obat itu belum tersedia secara luas di
Indonesia. “Paduan obat untuk MDR-TB yang menggunakan lini kedua juga
lebih memiliki efek samping dan lebih toksik,” ungkap Elisna. Alasan
ketiga dijawab dengan lugas : “Terapinya lebih mahal.”
Kasus
MDR-TB pertama kali dilaporkan dari Amerika Serikat, khususnya pada
pasien tuberkulosis dan AIDS yang menimbulkan angka kematian sekitar 70
hingga 90 persen dalam waktu hanya 4 sampai 16 minggu. Penderita MDR-TB
primer di Amerika, menurut data CDC sekarang telah berhasil diturunkan
dari sekitar 400 kasus pada tahun 1993 menjadi 100an kasus di tahun 2009
lalu.
Indonesia, seperti yang diungkap Elisna,
mulai banyak ditemukan pasien MDR TB. Data dari Kementrian Kesehatan
yang diungkap Prof. Dr.Tjandra Yoga Aditama Sp.P(K) menyatakan sampai
dengan bulan Oktober 2010 telah terdapat 473 suspek penderita, dan
sebanyak 158 dinyatakan mengalami MDR TB. Indonesia menurut data WHO
Global Report 2009, menduduki urutan ke8 dari 27 negara dengan kasus
MDR-TB terbanyak. Setiap tahunnya, menurut laporan WHO sekitar 2 kasus
baru muncul di Indonesia. Perbandingan dengan negara tetangga, di China
muncul 5 kasus setiap tahun, India 3 kasus, Philiphina 4 kasus, Malaysia
0,1 kasus, dan Singapura 0,2 kasus.
MDR TB menunjukkan Mycobacterium tuberculosis
telah resisten terhadap rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT
lainnya. Secara umum, resistensi terhadap obat tuberculosis dikatakan
sebagai resistensi primer jika pasien sebelumnya tidak pernah mendapat
pengobatan TB, resistensi inisial jika tidak diketahui pasti apakah
pasien sudah pernah ada riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak, dan
resistensi sekunder jika pasien telah memiliki riwayat pengobatan
sebelumnya. “Upaya yang paling baik dan harus dilakukan adalah mencegah
terjadi pasien mendapat MDR-TB karena tertular langsung dari penderita
yang mengalami MDR-TB,” ujar Elisna.
Obat anti TB (OAT) bukanlah penyebab resistensi,
plasmid juga tidak terbukti memiliki peran dalam resistensi obat.
Mutasi gen pada bakteri mycobacterium tuberculosis itu yang dapat
menjelaskan terjadinya resistensi obat. Mutasi yang merupakan peristiwa
acak dan sekuensial. Beberapa gen yang resisten terhadap obat anti TB
seperti gen katG, inhA, Nadh, dan ahpC yang terkait resisten terhadap
INH. Gen yang terkait resisten terhadap Rifampicin adalah gen rpoB yang
berfungsi dalam RNA polymerase, sedangkan gen pncA yang terkait resisten
terhadap pyrazinamid.
Dokter Berperan sebagai Penyebab MDR
Faktor yang memicu terjadinya MDR-TB datang dari berbagai pihak. “Dari pasien dan juga dari dokter,” ujar Elisna.
“Pasien bandel, tidak patuh meminum obat, atau masalah ketiadaan uang
atau transportasi berobat,” ujarnya. Faktor lain dari pasien adalah
malabsorpsi obat, reaksi obat yang merugikan, hambatan sosial untuk
kepatuhan pengobatan, hingga gangguan ketergantungan obat.
Ketidak tahuan dan ketidak waspadaan
dokter tentang kemungkinan terjadinya MDR-TB menjadi salah satu faktor
yang bisa menyebabkan resistensi itu, menurut Elisna. Dokter yang
memberikan kombinasi atau dosis obat yang tidak sesuai guideline.
“Pengobatan kerap dilakukan ‘in the dark’ untuk kasus-kasus terapi
ulang, tanpa adanya uji sensitivitas obat,” ujar Elisna. Clinical Error juga bisa terjadi dengan adanya fenomena addition syndrome,
yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu paduan pengobatan yang tidak
berhasil. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obat
kurang atau di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi obat yang
tinggi serta kurangnya monitoring dan awaraness dari petugas kesehatan turut mempengaruhi timbulnya kejadian MDR TB.
Faktor lain yang juga turut mempengaruhi
terjadinya resistensi obat adalah faktor yang terkait dengan program
pelayanan kesehatan, seperti akses pelayanan kesehatan yang tidak
konsisten, ketidaktersediaan obat karena tidak ada obat atau karena
masalah distribusi, kualitas obat yang buruk, atau masalah penyimpanan
yang tidak memadai. Faktor lain adalah program pengendalian TB yang
tidak terorganisasi dengan baik, atau mengalami kendala dana, tidak
tersebar meratanya guideline untuk penatalaksanaan terutama pelayanan
kesehatan swasta dan kurangnya sarana laboratorium uji yang memadai.
“Jika MDR TB tidak dicegah, maka
resistensi dapat terjadi lebih lanjut yang mengakibatkan XDR-TB yang
sangat sulit diterapi,” tegas Elisna. Strain XDR-TB teah teridentifikasi
di semua belahan dunia dengan prevalensi sebesar 7 persen pada kasus
MDR-TB. Malah studi baru-baru ini di Afrika Selatan menunjukkan tingkat
mortalitas yang tinggi pada pasien XDR-TB yang juga telah terjangkit
HIV.
Frame pemikiran untuk pencegahan MDR-TB,
menurut Elisna, harus ditanamkan saat dilakukan pengobatan TB kasus
baru . Identifikasi suspek yang resisten terhadap OAT perlu dilakukan,
yaitu jika tidak terjadi konversi sputum pada 2 bulan pertama kasus TB paru
BTA positif, atau kegagalan pengobatan kategori I dan II, atau
terjadinya kekambuhan penyakit, pasien mengalami putus obat, riwayat
pengobatan gelap, terjadi kasus TB kronik, dan adanya kontak dengan
pasien yang memang sudah mengalami MDR TB.
Dr. Priyanti Z. Soepandi, SpP(K) dalam
satu acara ilmiah di Jakarta mengatakan, pasien MDR TB harus diterapi
dengan paduan khusus yang terdiri atas obat-obat lini kedua. Direktur RS
Persahabatan ini mengatakan untuk MDR-TB paling sedikit harus diberikan
4 macam obat yang diketahui atau dianggap sensitive untuk diberikan
selama paling kurang 18 bulan. Untuk memastikan kepatuhan diperlukan
pengukuran yang berpihak kepada pasien, dan konsultasi dengan pakar di
bidang MDR harus dilakukan. Uji kepekaan obat digunakan sebagai paduan
pengobatan. “Jangan gunakan siprofloksasin sebagai OAT dan jangan
gunakan obat yang terdapat resistensi silang,” ujar Priyanti.
Uji kepekaan untuk diagnosis MDR-TB
dapat dilakukan di lima laboratorium rujukan, 2 terdapat di Jakarta, dan
lainnya di Bandung, Surabaya, dan Makasar. Identifikasi MDR bisa
memakan waktu 6 hingga 14 minggu, dan jika dugaan resistensi obat sangat
kuat, sampel atau spesimen dikirim ke laboratorium rujukan sekaligus
dilakukan konsultasi dengan RS rujukan. RS rujukan untuk kasus MDR-TB
atau XDR saat ini adalah RS Persahabatan Jakarta, RS Dr. Soetomo
Surabaya, RS Labuang Aji Makasar, dan RS Syaiful Anwar Malang.
Strategi pengobatan dilakukan dengan DOTS plus. Plus berarti menggunakan obat-obat TB linikedua dan kontrol infeksi. “DOTS Plus tidak mungkin dilakukan pada daerah yang tidak menggunakan staretgi DOTS,”
ujar Priyanti. Dalam pengobatan MDR-TB terdapat tambahan pertimbangan
pengobatan, seperti menggunakan Pengawas Menelan Obat (PMO) untuk
mengawasi pengobatan, pemberian OAT harus setiap hari dan tidak boleh
intermitten, lama pengobatan minimum 18 bulan setelah kultur konversi,
dan penggunaan obat suntik minimal 6 bulan atau 4 bulan setelah
konversi. Definisi konversi dahak adalah pemeriksaan dahak secara
mikroskopik dan biakan 2 kali berturut-turut dengan jarak 30 hari dengan
hasil negative pada pasien yang sebelumnya positive. Paduan standar
dapat diubah berdasarkan faktor-faktor berikut antara lain, jika tidak
ada respon terhadap pengobatan dan riwayat penggunaan sebelumnya maka
diberikan levofloxacin dosis tinggi (1 gram) dan PAS, yang merupakan
obat dengan aktiviti bakteriostatik. Faktor lain yang dapat dijadikan
alasan paduan standar adalah jika terjadi efek samping yang sudah
diidentifikasi, dan terjadi perburukan sebelum dan sesudah konversi.
Seperti tercetak di Majalah Farmacia Edisi Maret 2011 , Halaman: 26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar