Menegakkan
diagnosis suatu penyakit oleh seorang dokter seringkali tidak semudah
yang dibayangkan. Beberapa kelainan atau penyakit yang berbeda sering
menampakkan tanda dan gejala klinis yang sama. Sehingga dalam beberapa
kasus acapkali terjadi “wrong diagnosis” atau kesalahan diagnosis atau
overdiagnosis suatu penyakit padahal seseorang tidak menderitanya.
Kesalahan diagnosis atau wrong diagnosis
artinya seseorang diberikan diagnosis penyakit tertentu tetapi
sebenarnya belum tentu mengalami gangguan tersebut. Bukan hanya di
Indonesia, hal ini juga sering terjadi di luar negeri. Istilah dan
kondisi yang hampir serupa diistilahkan pit fall diagnosis, overdiagnosis atau misdiagnosis.
Banyak faktor yang terjadi mengapa hal
itu sering terjadi. Faktor utama adalah dalam beberapa penyakit yang
dalam menentukan gold standar atau untuk memastikan suatu penyakit
dengan diagnosis klinis atau hanya dengan mengamati riwayat penyakit dan
manifestasi penyakit. Sedangkan alat bantu diagnosis seperti
pemeriksaan laboratorium atau pemeriksaan penunjang lainnya tidak banyak
diharapkan karena sering spesifitas dan sensitifitas tidak terlalu
bagus sehingga sering mengakibatkan false positif atau false negatif.
Artinya, dalam pemeriksaan laboratorium
terjadi kesalahan yang seharusnya negatif tetapi saat diperiksa hasilnya
positif dan sebaliknya. Selain akurasi alat tidak baik sering terjadi
kesalahan interpretasi penilaian hasil laboratorium.
Berikut 10 overdiagnosis yang paling sering terjadi, khususnya pada anak-anak :
1. Alergi susu sapi.
Menentukan vonis anak menderita alergi
susu sapi tidaklah semudah yang dibayangkan. Tidak semua manifestasi
alergi haruslah disebabkan karena alergi susu sapi. Penyebab alergi susu
sapi hanya berkisar sekitar 2-3%, tetapi faktanya hampir semua anak
yang mengalami gejala alergi, sering langsung diagnosis alergi susu
sapi. Banyak bayi awalnya didiagnosis alergi susu sapi dan diadviskan
untuk minum susu yang mahal. Ternyata saat dilakukan evaluasi ternyata
anak tersebut tidak mengalami alergi susu sap kasus lain saat usia o-6
bulan minum susu sapi tidak ada masalah tetapi saat usia 7 bulan divonis
alergi susu sapi.
Memang untuk memvonis seorang alergi
susu sapi tidak semudah itu. Untuk menentukan penderita yang sudah
divonis alergi susu sapi pilihan utama adalah susu ektensif hidrolisat
atau soya. Seringkali kesalahan terjadi bahwa setiap anak mengalami
tanda dan gejala alergi divonis alergi susu sapi dan diadviskan susu
hidrolisat parsial alergi. Padahal, susu tersebut hanya untuk prevention
atau pencegahan alergi atau untuk anak beresiko alergi bukan untuk
penderita alergi susu sapi.
Memastikan alergi susu sapi tidak mudah
karena dalam keadaan tertentu tes alergi seperti tes kulit atau tes
darah tidak bisa memastikannya. Standar baku emas atau memastikan alergi
susu sapi harus dengan chalenge test atau eliminasi provokasi.
Hal inilah yang membuat seringkali terjadi overdiagnosis atau perbedaan
pendapat di antara para dokter dalam menentukan vonis alergi susu sapi
pada anak atau bayi. Penyebab alergi bila dicermati juga sering
dicetuskan karena infeksi virus dan disebabkan karena alergi debu atau
alergi makanan lainnya.
2. Infeksi bakteri.
Kesalahan diagnosis sering lainnya
adalah penyakit virus didiagnosis sebagai infeksi bakteri. Gangguan
infeksi muntaber, muntah, diare, demam, batuk, pilek atau infeksi akut
lainnya sebagian besar disebabkan karena infeksi virus yang tidak
memerlukan antibiotika. Tetapi fakta yang ada sebagian besar terjadi
overdiagnosis atau overtreatment. Banyak kasus demikian diberi
antibiotika yang seharusnya tidak perlu diberi antibiotika.
3. Alergi debu.
Setiap Debu yang paling sering dianggap
sebagai penyebab keluhan batuk, pilek, sinusitis berkepanjangan.
Sebenarnya penyebab utama alergi debu adalah debu rumah atau “house
dust”. Debu di luar rumah jarang dianggap sebagai penyebab alergi.
Bahkan banyak orangtua menyangka bahwa batuk dan pilek berkepanjngan
karena adanya proyek bangunan di sekitar rumah.
Bila dicermati debu yang selama ini
dianggap sebagai biang keladi penyebab alergi mungkin harus
dipertanyakan. Hal ini dapat dibuktikan bahwa keluhan alergi seperti
batuk dan pilek seringkali timbul saat malam dan pagi hari. Padahal saat
malam dan pagi hari debu lebih sedikit. Reaksi alergi karena debu
adalah reaksi cepat yang seharusnya lebih banyak timbul saat siang hari
saat aktifitas.
Fakta lain juga terjadi banyak orangtua
yang telah membersihkan semua debu, boneka, karpet dan dipasang AC
plasmacluster tetapi ternyata gejala alergi batuk dan pilek tidak
kunjung hilang. Bahkan penelitian di Swedia menunjukkan pemakaian karpet
menurun, pemakaian lantaeas menaingkat tetapi justru penderita alergi
meningkat pesat. Debu bisa dapat menimbulkan alergi bila dalam jumlah
yang cukup besar seperti bila masuk gudang, rumah yang tidak ditinggali
lebih dari seminggu, saat bongkar-bongkar kamar atau saat menyapu atau
saat memakai atau mengambil barang yang sudah lama tersimpan lama di
gudang atau lemari.
Gangguan karena debu termasuk reaksi
cepat biasanya tidak berlangsung lama, begitu paparan debu tersebut
hilang maka dalam beberapa saat keluhan tersebut akan menghilang. Bila
gangguan tersebut berlangsung lama bisa dipastikan adalah reaksi lambat,
keadaan seperti inilah tampaknya alergi makanan seringkali dapat
dicurigai. Penyebab dan pemicu alergi yang sering adalah infeksi virus
atau flu hal ini sering tidak disadari penderita alergi.
4. ADHD.
Banyak kasus anak tidak bisa diam,
gangguan konsentrasi dan gangguan emosi divonis sebagai ADHD padahal
bukan. Banyak anak normal juga mempunyai menifestai tidak bisa diam,
gangguan konsentrasi dan gangguan emosimeski dalam bentuk yang tidak
berat. Kondisi normal ini sering terjadi pada penderita alergi dengan
gangguan salran cerna. ADHD adalah wrong diagnosis terbesar di Amerika Serikat.
5. Demam tifus.
Seringkali seseorang didiagnosis tifus
sampai lebih dari 2-4 kali dalam setahun padahal tidak menderita
penyakit tersebut. Kesalahan diagnosis tifus seringkali terjadi karena
spesifitas hasil pemeriksaan laboratorium darah widal atau pemeriksaan
IgG dan IgM tifus tidaklah baik. Sering terjadi false positf pada
infeksi virus atau DBD. Makanya seringkali terjadi penderita DBD divonis
juga sebagai tifus karena hasil laboratorium tifus positif padahal
tidak mengidap tifus. Reaksi false positif hasil laboratorium tifus ini
seringkali terjadi pada penderita alergi atau hipersenitif karena reaksi
antibodinya sangat reaktif sering mengakibatkan kesalahan hasil
laboratorium.
6. Tuberkulosis.
Diagnosis pasti TB anak sulit oleh karena penemuan Micobacterium TBC (M.TBC) sebagai penyebab TB pada anak tidak mudah. Sehingga sering terjadi kesalahan diagnosis dalam penegakkan diagnosis TB pada anak.
Konsekuensi yang harus dihadapi adalah pemberian multidrug (2 atau 3
jenis antibiotika) dalam jangka waktu 6 bulan. Pemberian obat anti TB
pada anak yang tidak menderita TB selain mengakibatkan pengeluaran biaya
yang tidak diperlukan, juga risiko efek samping pemberian obat tersebut
seperti gangguan hati, persarafan telinga, gangguan darah dan
sebagainya.
Di kalangan masyarakat bahkan sebagian klinisi terdapat kecenderungan tanda dan gejala TB
yang tidak spesifik pada anak sering dipakai dasar untuk memberikan
pengobatan TB pada anak. Padahal banyak penyakit lainnya yang mempunyai
gejala tersebut. Gagal tumbuh atau berat badan tidak naik, kesulitan
makan, demam berulang, sering batuk atau pembesaran kelenjar yang kecil
di sekitar leher dan belakang kepala merupakan gejala yang tidak
spesifik pada anak. Tetapi tampaknya dalam praktik sehari-hari gangguan
ini sering langsung dicurigai sebagai gejala TB.
Seharusnya gejala tersebut dapat
disebabkan oleh beberapa penyakit lainnya. Gangguan-gangguan tersebut
juga sering dialami oleh penderita alergi, asma, gangguan saluran cerna
dan gangguan lainnya pada anak. Tanda dan gejala TB
yang tidak spesifik sangat mirip dengan penyakit lainnya. Gangguan
gagal tumbuh dan gangguan saluran napas non spesifik sering mengalami
overdiagnosis tuberkulosis. Penyakit alergi atau asma dan penderita
gagal tumbuh yang disertai kesulitan makan paling sering dianggap
penyakit TB karena gejalanya sama.
7. Alergi dingin.
Gejala bersin, batuk, pilek
berkepanjangan sering didiagnosis sebagai alergi dingin. Sebenarnya
dingin hanyalah sekedar pencetus atau memperberat bukan penyebab.
Artinya bila penyebab alergi lainnya tidak ada maka meski dingin tidak
akan menimbulkan keluhan. Dingin atau AC sering juga dianggap biang
keladi penyebabnya. Tetapi pendapat ini tidak sepenuhnya benar karena
banyak penderita alergi batuk saat tidur siang dengan AC yang sangat
dingin tidak timbul gejala batuk tersebut. Hingga saat ini masih belum
diketahui mengapa gejala alergi atau asma sering timbul saat malam hari.
Diduga peranan hormonal sirkadial yang mengakibatkan fenomena gejala
saat malam dan pagi hari lebih sering terjadi. Demkikian juga bila
dicermati penderita yang divonis alergi dingin suatu saat
tinggal.beberapa lama di lembang yang sangat dingin bahkan tinggal di
Eropa selama beberapa bulan saat musim dingin keluhan pilek dan
batukjustru sembuh.
8. Pnemoni.
Penderita asma atau hipersnsitif bronkus atau hipersensitif saluran napas sering didiagnosis sebagai infeksi parau-paru atau pnemoni padahal hanyalah sekedar infeksi saluran napas akut biasa. Hal ini terjadi karena kesalahan interpretasi dalam pembacaan foto rontgen. Pada penderita alergi saluran napas dan asma sering menampkkan bercak-bercak mirip infkesi paru pnemoni padahal bukan. Infiltrat atau bercak pada rontgen infeksi paru biasa halus sedangakan pada penderita asma lebih kasar, Meski berbeda kedua hal ini sering dikelirukan oleh dokter radiologipun. Sehingga dokter yang merawat akan secara otomatis mengikuti hasil bacaan robtgen itu padahal manifestasi klinisnya tidak sesuai dengan pnemoni seperti tidak ada tanda ronki basah halus dan tidak sesak.
Penderita asma atau hipersnsitif bronkus atau hipersensitif saluran napas sering didiagnosis sebagai infeksi parau-paru atau pnemoni padahal hanyalah sekedar infeksi saluran napas akut biasa. Hal ini terjadi karena kesalahan interpretasi dalam pembacaan foto rontgen. Pada penderita alergi saluran napas dan asma sering menampkkan bercak-bercak mirip infkesi paru pnemoni padahal bukan. Infiltrat atau bercak pada rontgen infeksi paru biasa halus sedangakan pada penderita asma lebih kasar, Meski berbeda kedua hal ini sering dikelirukan oleh dokter radiologipun. Sehingga dokter yang merawat akan secara otomatis mengikuti hasil bacaan robtgen itu padahal manifestasi klinisnya tidak sesuai dengan pnemoni seperti tidak ada tanda ronki basah halus dan tidak sesak.
9. Usus buntu.
Keluhan nyeri perut yang hebat sering didiagnosis usus buntu padahal nyeri perut juga bisa terjadi pada berbagai kasus. Kadang overdiagnosis usus buntu sering terjadi karena gejala yang terjadi hampir sama kualitas nyeri dan lokasinya dengan gangguan lainnya. Kesalahan diagnosis usu buntu sering terjadi pada penderita alergi atau asma yang sebelumnya mempunyai riwayat kolik saat bayi, sering rewel saat usia di bawah usia 3 bulan atau nyeri perut berulang.
Keluhan nyeri perut yang hebat sering didiagnosis usus buntu padahal nyeri perut juga bisa terjadi pada berbagai kasus. Kadang overdiagnosis usus buntu sering terjadi karena gejala yang terjadi hampir sama kualitas nyeri dan lokasinya dengan gangguan lainnya. Kesalahan diagnosis usu buntu sering terjadi pada penderita alergi atau asma yang sebelumnya mempunyai riwayat kolik saat bayi, sering rewel saat usia di bawah usia 3 bulan atau nyeri perut berulang.
10. Hirschprung Disease.
Beberapa kasus penderita sulit buang air besar pada bayi sering mengalami overdiagnosis sebagai penyakit hirschprung. Penyakit hirschprung adalah gangguan sulit buang air besar yang disebabkan karena tidak adanya ganglion atau persarafan usus besar di daerah sekitar anus. Gangguan ini harus dipastikan dengan biopsi dan harus dilakukan operasi untuk menghilangkan sebagian usus.
Beberapa kasus penderita sulit buang air besar pada bayi sering mengalami overdiagnosis sebagai penyakit hirschprung. Penyakit hirschprung adalah gangguan sulit buang air besar yang disebabkan karena tidak adanya ganglion atau persarafan usus besar di daerah sekitar anus. Gangguan ini harus dipastikan dengan biopsi dan harus dilakukan operasi untuk menghilangkan sebagian usus.
Beberapa penderita divonis sebagai
penyakit hirschprung karena berdasarkan pemeriksaan foto barium dan
harus melakukan operasi. Sebelum operasi dilalkukan second opinion
ke dokter lainnya dan dilakukan eliminasi beberapa makanan penyebab
alergi ternyata gangguan kesulitan buang air besar tersebut tersebut
dapat membaik tanpa operasi. Gangguan sulit buang air besar banyak
faktor penyebabnya salah satunya sering berkaitan dengan gangguan alergi
makanan.
Dampak dan pencegahan
Dampak yang terjadi bila kesalahan diagnosis ini terjadi ini kadang ringan sampai berdampak fatal. Dampak ringan lainnya adalah mengorbankan biaya yang sangat besar misalnya bila tidak benar mengalami alergi susu sapi tetapi direkomendasikan susu khusus hipoalergenik yang harganya sampai berlipat-lipat. Dampak lainnya, yang seharusnya tidak minum obat antibiotika tetapi harus diberi antibiotika.
Dampak yang terjadi bila kesalahan diagnosis ini terjadi ini kadang ringan sampai berdampak fatal. Dampak ringan lainnya adalah mengorbankan biaya yang sangat besar misalnya bila tidak benar mengalami alergi susu sapi tetapi direkomendasikan susu khusus hipoalergenik yang harganya sampai berlipat-lipat. Dampak lainnya, yang seharusnya tidak minum obat antibiotika tetapi harus diberi antibiotika.
Data di Growup Clinic Jakarta
menunjukkan bahwa kesalahan diagnosis ini paling sering menimpa
penderita asma, alergi dan hipersensitifitas saluran cerna. Data
menunjukkan bahwa hampir lebih dari 90% penderita yang mengalami
overdiagnosis terjadi pada penderita asma, alergi dan hipersensitif
saluran cerna. Ternyata alergi dapat mengganggu semua sistem tubuh dan
mempunyai banyak manifestasi klinis yang kadang menyerupai berbagai
penyakit lainnya.
Langkah terbaik yang bisa dilakukan
adalah bagi penderita alergi bila didiagnosis 10 penyakit seperti di
atas harus lebih cermat memakai prosedur penegakan diagnosis dengan
mengamati secara cermat riwayat penyakit, tanda dan gejala penyakit dan
interpretasi labatorium yang baik. Dokter harus cermat
menginterpretasikan hasil laboratorium.
Tak boleh mengobati pasien hanya sekedar
berdasarkan pemeriksaan laboratorium tanpa mencermati manifestasi
klinis penderita. Beberapa pemeriksaan laboratorium sering terjadi false
positif atau seharusnya hasil negatif tetapi hasilnya menunjukkan
positif.
Bila diagnosis meragukan, sebaiknya dilakukan second opinion
atau meminta pendapat kedua ke dokter ahli lainnya. Bila terjadi
kesalahan diagnosis, seringkali disertai kesalahan terapi dan
pengobatannya.
Sumber : http://health.kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar